Tuesday, June 18, 2013

KPOP Vaganza Meet n Greet S4 at BALI

KPOP VAGANZA presented by 
INDOSAT and Hyundai Indonesia


Event :
Competition Cover Sing (Single or Group) 
Competition Cover Dance
Fashion Show Korean Style

DATE :
JULY 07, 2013


PLACE :
Bhumiku Building, Jl. Gunung Soputan 49, Denpasar - Bali

PRICE for Competition :
Trophy & Cash

For :
Photogenic Competition -> IDR 75.000
Fashion Show Competition -> IDR 100.000
Contact Person -> Eti 0878 6119 5818

For :
Reguler Ticket -> IDR 25.000
Meet and Greet with S4 -> IDR 200.000
Sing Cover and Dance -> Free Registration (Must Korean Song max 7 minutes)
Contact Person -> Dindi 0898 0707 111


Let's join with this event ^o^ 

You can Meet and Greet with S4 in the morning and see their performance on the night  ^o^ 

For More about this event, you can ask @S4US_BALI

This is PIN from S4US Bali ^o^ How cool ^o^

This is example of ticket KPOP Vaganza, contact @S4US_BALI to buy this ticket only for 30 person. 

So, don't miss it guys,. 
Drab it fast ^o^ 



Published by :
@Card_To_S4







Sunday, June 16, 2013

1st Mini Gath S4US JABODETABEK

Ini kiranya keseruan dari Mini Gath S4US JABODETABEK
This is how interesting S4US Mini Gath JABODETABEK 

This picture are taken from @S4US_intl and @AlifanaticsNuna

Maybe from this picture, you can imagine how interesting
 Mini Gath S4US JABODETABEK ^o^

Poor me, I can't join with them,. Maybe next time I can join with them ^o^  Amin,. 

How Happy all of you guys ^o^


S4US who get Handbanner with S4's sign ^o^ Really luck,. 


S4US Watching Bloopers Greeting S4,. Really want to see it too ^o^

The Winner of Quiz on Mini Gath S4US JABODETABEK ^o^

How luk you guys, get banner S4 with sign ^o^ 

When S4US watching S4's Video ^o^

When S4 call S4US, hwaa,. It's interesting ^o^ 

All S4US who come to Mini Gath S4US  JABODETABEK ^o^ 

Hope there is another Gath S4US ^o^

Thanks for people who join this Gath, 
It's become Spirit I think for our beloved @S4isOfficial ^o^

See S4, We are S4US are always support you guys,
Because you are our
INSPIRATION BOYBAND ^o^

Keep FIGHTING ^o^


Published by :
@Card_To_S4

#S4Superhero

Yeahh, this is our #S4Superhero version

I hope all @S4_US and @S4isOfficial love this ^o^ 

@AlifRizQ as Batman - The Sharp and Smart Superhero #S4Superhero

@Arthur_Stefano as Charming Robin #S4Superhero


@FirlyFirlana as sexy Spiderman #S4Superhero

@Jefrigurusinga as sweet Superman - How Handsome are you ^o^ #S4Superhero


That's all our #S4Superhero version,. 
If you want to save the picture, don't forget to include the credit ^o^

Hope all of @S4_US like this,. ^o^ 


Created by :
@Card_To_S4 


Saturday, June 15, 2013

#S4hvWings

And there is @S4isOfficial #S4hvWings

With wings How Cute Are You guys,. ^o^

This is it :

#S4hvWings






With wings, can they fly to our heart S4US ? ^o^

How Handsome you are guys, Really proud can to be part of S4US Family ^o^

Edited by : @S4USsupportS4

Published by : 
@Card_To_S4


#S4onDrama

It's Drama Version, Editing really well guys,. Make u scream,. ^o^ 

Check this out :

#S4onDrama
Mas Alif  with Yoon Eun Hye ^o^


Kak Arthur with Yoon Eun Hye ^o^ 

Bang Firly with Jessica Girl's Generation ^o^

Bang Jeje with Park Shin Hye ^o^

All photos are edited by @S4US supportS4 
It's really make S4US imagine 
"How if @S4isOfficial play Drama ?"

For me, it'll be interesting, and more interesting because there is @S4isOfficial
Yeah,. ^o^ Love it,.


Published by :
@Card_To_S4 


#S4PosterVer

Hai S4US , ini aku mau share pict #S4PosterVer

Ini hasil editan salah satu fandom loh, Keren kann ?? 

Lihat ini hasilnya :




All photos edited by @S4USsupportS4

Yeah, How is it ? Is it good right ?
I love this version, so I publish this ^o^ 

If u want to share or re-upload this picture, don't forget about credit guys ^o^
It's way to appreciate people who make this ^o^


Published by :
@Card_To_S4 


Thursday, June 6, 2013

#S4Fanfiction ~ Just Let Me Love You Part 1 ~

Author               : @ismipurisa
~Just Let Me Love You ~ Part 1 

Genre                 : romance
Rated                 : semua boleh baca ko
Fandom            : S4US
Disclaimer       they own themselves, I just own the storyline and the words…
Cast                    : All members S4
Reita (fiktif)
Other casts

Reita’s POV
Aku mengisi piring kosong di tangan kiriku dengan nasi goreng yang masih panas dari atas kompor. Dan tidak boleh lupa, telur mata sapi. Utuh. Anak bandel itu tidak suka nasi goreng dengan telur orak-arik. Harus telur mata sapi.
Sambil meletakkan piring itu di atas meja makan, aku meneriakkan namanya untuk yang ke-lima belas kali pagi ini. Tapi anak itu belum juga terlihat, padahal sudah hampir jam 8. Aku melihat Simbok menuruni tangga sambil geleng-geleng kepala, menandakan dia tidak berhasil menyelesaikan misi pagi itu: membangunkan si bandel. Huft… Aku harus turun tangan sendiri.
Setengah berlari aku menaiki tangga. Aku tidak perlu mengetuk pintu untuk masuk ke kamarnya. Segera kukeluarkan kunci cadangan yang kusimpan di saku bajuku. Dia sudah lama protes dan selalu berusaha mencuri kunci ini begitu aku lengah. Tapi sayang sekali, aku lebih cerdik dibanding dia. Hahahaha.
“Dasar pemalas,,,” gumamku melihatnya masih bergelung di bawah selimut.
“Alif!!! Ayo bangun!!! Udah hampir jam 8 lho!!!!”
Aku mengguncang-guncang bahunya. Dia bergeming.
“Ayo bangun dong… Nasi gorengnya udah mateng tuh,,,”
Dia mengeluarkan suara semacam gumaman sambil bergerak sedikit, tapi masih saja belum mau bangun.
“Ya udah deh kalau nggak mau bangun,,,”
Aku pura-pura menjauh dari tempat tidurnya, tapi dua detik kemudian aku naik ke atas tempat tidur dan menyerangnya. Alif menjerit kaget dan berusaha mendorongku menjauh. Dia paling tidak tahan kalau aku menggelitiki pinggangnya.
“Ampun Kak,,, ampuuun!!!!!!” Dia berteriak-teriak histeris.
“Bangun nggak, ayo cepetan bangun terus mandi!!!” Aku masih terus menyerangnya.
“Iya,, Alif bangun,,, terus mandi,, Udah dong Kak,, ampun,,,”
Dia memohon dengan wajah memelas. Aku melepaskannya sambil tertawa penuh kemenangan. Dia bangkit sambil manyun, mencoba memasang tampang sekesal mungkin.
“Curang!!!” protesnya.
“Bukan curang, Alif sayang,” kataku,”Tapi cerdik.”
“Awas ya,,, pokonya kunci itu pasti bakal kucuri!!!” dia mengancam, entah sudah yang keberapa ratus kali sejak aku memiliki kunci itu.
“Cepet bangun nggak, atau….” aku mengangkat kedua tanganku, siap menggelitikinya lagi.
“Iya… iya!!! Bawel!!!” Dia melompat turun dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi.
Aku tertawa geli. Dia sudah kuliah, tapi masih saja seperti anak-anak. Kadang-kadang aku bahkan lupa kalau usianya sudah 19 tahun. Aku merasa dia masih sama seperti Alif kecil yang dulu selalu menangis setiap kali aku menyembunyikan mobil-mobilannya. Atau Alif kecil yang sewaktu sekolah dasar selalu mencariku setiap jam istirahat sambil membawa-bawa botol minuman di lehernya. Tapi tidak seharusnya aku heran, Bunda memang selalu memanjakan anak itu. Sampai SMP saja Bunda masih sering mengambilkan makan dan menyuapi Alif…
Sekarang… Alif harus bisa makan sendiri, bahkan kadang dia harus benar-benar makan sendirian kalau aku masih sibuk di luar.
***
Aku berjalan cepat menuju kelas. Gara-gara mengurusi si bandel itu, aku jadi hampir terlambat. Membangunkan Alif adalah pekerjaan rutin yang tidak bisa dianggap enteng. Bahkan Simbok saja lebih sering menyerah untuk urusan yang satu itu. Padahal, selain membangunkannya, aku juga harus memasak. Meskipun Simbok sudah mengasuh kami sejak kami masih kecil, tapi di rumah, Alif tidak pernah mau makan masakan selain masakanku. Dia bilang, masakanku mirip masakan Bunda.
Kulirik lagi jam yang melingkar di tangan kiriku. Sudah terlambat lima menit. Aku harus cepat kalau tidak ingin Pak Anton menelanku bulat-bulat!
“Sepertinya kamu butuh mobil sendiri kalau tidak ingin terlambat lagi.”
Tiba-tiba seseorang menjajari langkahku sambil mengucapkan kalimat itu. Mau tidak mau aku menoleh. Mataku membulat, agak tidak percaya dengan penglihatanku sendiri. Tidak, bukan karena mendadak aku terkena rabun dekat, tapi karena orang yang berjalan di sampingku sekarang adalah “si arca batu.” Iya, dia benar-benar si arca batu… –tentu saja aku sendiri yang menjulukinya begitu, karena menurutku dia begitu jarang terlihat bicara atau berkumpul dengan orang lain. Kami satu jurusan selama lebih dari dua tahun dan hampir selalu sekelas, tapi intensitasku bicara dengannya bisa dihitung dengan jari!!! Benar, dengan jari tangan saja, tidak ditambah jari kaki!!!
Seperti biasa wajahnya datar, seolah-olah dia memang tidak punya ekspresi dan hanya emosi semacam itulah yang dia tunjukkan seumur hidupnya. Dia juga masih memakai celana jeans belel yang kucurigai ada selusin lebih di lemarinya karena saking seringnya aku melihat dia memakai celana semacam itu. Tas ransel hitam tersampir di pundak kanannya (aku tidak bisa menebak apa isinya karena setahuku dia jarang menulis di kelas). Seingatku tas itu tas yang sama dengan yang dia pakai sejak Ospek.
Ya ampun,,,aku terkejut dan malu karena ternyata aku begitu memperhatikannya.
Jadi tadi dia bilang apa? Aku butuh mobil agar tidak terlambat lagi? Hah. Dia kira dia siapa, mahasiswa teladan? Dia bahkan bisa dibilang “sangat sering terlambat” dan “rajin bolos.” Dan sekarang mendadak dia menasehatiku?
“Oh, nggak kok… Aku suka naik bis,” jawabku asal sambil mempercepat langkahku yang sempat melambat. Tentu saja selain suka naik bis, bagiku mobil bukan kebutuhan yang penting sekarang. Apalagi Alif baru saja punya motor baru. Dia sudah merengek padaku selama kurang lebih tiga tahun demi mendapatkan motor itu.
Tanpa kuduga, dia menjajariku lagi.
“Oh yah,,, kamu cocok kok naik bis.”
Aku pura-pura tidak mendengar kalimatnya karena tanganku sedang meraih gagang pintu kelas. Aman. Pak Anton belum datang. Secepat kilat, aku melesat ke bangku kosong di samping Hana yang sedang melongo keheranan karena melihat si arca batu itu berjalan di belakangku.
“Rei… kamu…” matanya membulat maksimal, ”Berangkat bareng sama Arthur???”
Rasanya aku ingin melakban mulut bawel Hana yang keterlaluan karena menanyakan hal itu dengan volume keras sementara Arthur sedang melewati kursi kami. Bagus!!! Sekarang dia bahkan berhenti dan menatapku. Iya, menatapku dengan ekspresi yang kuartikan sebagai ‘aku ingin menelanmu mentah-mentah.’ Aku pura-pura sibuk mengeluarkan buku dari tas untuk menghindari tatapannya. Untunglah, Pak Anton berdehem cukup keras dari pintu kelas. Jadi, untuk sementara aku aman dari tatapan aneh dan juga berondongan pertanyaan dari Hana.
Tapi rasa aman itu ternyata hanya sementara.
Segera setelah kelas berakhir, Hana membombardirku dengan pertanyaan-pertanyaan aneh yang terpaksa kuabaikan sampai kami duduk di kantin dan minum jus apel. Temanku yang satu ini memang sungguh sangat hiperbolis.
“Masa sih dia tiba-tiba jalan gitu aja di samping kamu?”
Mata Hana menyipit tidak percaya. Aku sampai tersedak. Selama ini Hana tahu bahwa aku punya semacam rasa antipati kepada Arthur yang menurutnya tidak beralasan. Jadi, baginya “masuk ke dalam kelas bersama orang yang tidak kau sukai” adalah hal yang patut dicurigai.
“Terus kamu pikir apa? Dia njemput aku di rumah, gitu? Selama ini kita bahkan nggak tahu dia ke kampus naik apa.”
Itu benar. Aku dan Hana sama sekali tidak tahu bagaimana orang itu sampai di kampus. Kami tidak pernah melihatnya membawa mobil, turun dari bis atau naik taksi. Menurut spekulasiku dia berangkat ke kampus naik odong-odong atau helikopter pribadi yang didaratkan di landasan rahasia yang ada di atap kampus. Hah!
“Yah…sebenarnya sih aku senang kalau kamu bisa berteman sama dia. Kayaknya cuma kamu deh, Rei, yang mengganggap dia aneh.”
Hana membentuk tanda kutip di udara ketika mengucapkan kata “aneh.”
“Siapa yang bilang dia aneh, Hana sayang? Aku cuma bilang dia itu arca batu karena jarang ngobrol sama orang lain.”
“Oh,,, aku sering kok ngobrol sama dia.”
Aku melengos. Yah, benar, kamu sering “ngobrol” dengannya jika “ngobrol” itu berarti kamu yang mengajak dia bicara duluan dan sepanjang obrolan itu dia hanya ber ah-oh atau mendengarkan tanpa ekspresi apa-apa, batinku.
“Dan orang lain juga “ngobrol” sama dia.”
Hana masih kekeuh mendebatku. Aku menengok ke arah yang ditunjukkan Hana dengan gerakan dagunya barusan. Beberapa meja dari kami, terlihat Arthur sedang duduk bersama Kristal dan gengnya. Aku sih tidak heran, semua orang juga tahu kalau Kristal sepertinya terobsesi pada Arhur, seakan-akan hidupnya belum sempurna kalau Arthur belum memperhatikannya. Jadi tentu saja dia rela menjadi “lumut yang mencoba mengikis kerasnya bebatuan.”
Aku tertawa sendiri oleh perumpamaan yang kubuat.
***
Handphoneku bergetar ketika aku sedang menunggu bis di depan gerbang kampus.
“Kak, aku jemput ya, aku antar ke studio. Sekalian nih dari kampus,” Alif langsung menyerbu.
“Nggak usah, Kakak naik bis aja, Lif.”
”Tapi Kak…”
“Udah, kamu langsung pulang, terus makan. Kakak udah siapin makan siangnya di dapur. Awas ya, jangan ngebut. Bye.”
Aku segera menutup telfon. Belakangan ini, sejak punya motor baru, Alif jadi sering memaksa ingin menjemput atau mengantarku. Padahal kampusku tidak searah dan cukup jauh dari kampusnya. Akan lebih baik kalau dia tidak kelelahan.
Tiba-tiba sebuah mobil berwarna silver berhenti tepat di depanku. Awalnya aku tidak memperhatikannya, karena kukira mobil itu memang mau parkir di sana. Tapi kaca jendela mobil itu terbuka, dan seseorang di dalamnya tersenyum padaku.
***
Author’s POV
Kaca jendela mobil itu terbuka dan seseorang di dalamnya tersenyum.
“Kak Firly!” seru Reita sambil balas tersenyum.
“Hai, Rei!” Cowok di dalam mobil itu membuka kacamata hitamnya.
“Kok udah pulang? Katanya ada urusan di Hongkong?”
“Iya, udah selesai kok. Lagian…” Firly menggantungkan kalimatnya,”Aku kangen sama kamu.”
Reita tergelak. Orang ini ada-ada saja. Sebenarnya Reita sendiri kikuk kalau harus bercanda dengannya dan memanggilnya “Kak”, karena di tempat kerjanya bisa dibilang Firly adalah atasannya. Sejak satu tahun yang lalu Reita menjadi penyiar di salah satu stasiun radio yang cukup besar di kota itu. Dia masuk ke sana tepat ketika Firly, putra pertama pemilik stasiun radio itu baru saja selesai kuliah di Amerika dan masuk ke studio sebagai atasannya. Menurut gosip yang Rei dengar sih, ayah Firly sedang mengadakan semacam “tes” padanya dengan mengelola radio itu sebelum menyerahkan bisnis yang lebih besar ke tangannya.
“Mau ke studio, kan? Bareng aja, yuk.”
Firly membukakan pintu mobil. Mau tidak mau, Reita masuk sambil mengucapkan terimakasih. Dari kejauhan, sepasang mata mengawasi mobil itu sampai hilang di tikungan.
***
Reita sudah menduga bahwa akan terjadi kehebohan kalau dia datang bersama Firly ke studio. Apalagi dia ikut membantu membawakan beberapa bungkusan oleh-oleh dari Firly. Beberapa orang mengucapkan terimakasih sambil dengan anehnya mengedip-ngedipkankan mata padanya ketika dia membantu membagikan oleh-oleh itu. Dia pura-pura tidak tahu apa-apa.
“Reita……!!!!!!!!!!!!!!”
Syukurlah, teriakan heboh itu membantunya menghindari tatapan orang-orang.
“Bang Jeje!!!!!!”
Reita memeluk orang yang tadi berseru memanggilnya. Sudah seminggu penyiar seniornya itu pulang kampung ke Medan. Dan jujur Rei sudah kangen padanya.
“Eh…tunggu dulu.”
Rei megamat-amati Jeje dengan tampang serius.
“Apaan sih?” Jeje penasaran.
“Rambutmu, Bang! Rambutmu kenapa jadi blonde begini?”
Reita mengacak-acak rambut Jeje. Jeje tertawa.
“Nggak papa, ganti suasana aja. Tambah cute kan?”
Reita berlagak pura-pura muntah dan malah membuat tawa Jeje makin keras.
Sepuluh menit kemudian mereka sudah duduk di ruang siar. Bagi Rei mendapatkan partner seperti Jeje adalah sesuatu yang sangat dia syukuri. Sejak awal kedatangannya Jeje banyak membantu dan membimbingnya sampai dia bisa bertahan selama ini di radio itu.
“Oke… cerita yang menarik sekali.”
Kata Jeje begitu seorang pendengar selesai bercerita lewat telfon. Menurut Rei, cerita barusan lebih tepat disebut “tragis” dibanding menarik, karena cewek itu baru saja bercerita tentang masa-masa suramnya selama Ospek yang berakhir bulan lalu.
“Pastinya,,, Ospek itu memang berkesan banget ya, Bang Jeje? Kalian pasti juga punya cerita-cerita menarik seputar Ospek yang bisa di-share bareng kita di sini.”
Demi kemanusiaan, Rei terpaksa menyetujui pendapat Jeje.
“Bener banget, Rei. Kalau kamu sendiri gimana? Punya pengalaman seru apa pas Ospek?”
Ospek? Reita terdiam. Ingatan tentang masa itu mendadak terputar di otaknya seperti sebuah film. Ingatan tentang sesuatu yang barangkali bisa merusak hipotesis Hana bahwa dia memiliki rasa antipati tidak beralasan kepada makhluk bernama Arthur Stefano.
***
~To Be Continue~ Bersambung~
Shared by : @Card_To_S4 

#S4Fanfiction ~ Fading Like a Flower ~end

Author : one piece`nya Arthur a.k.a @ismipurisa

Cast     :
  • Firly
  • Arthur
  • Mary
Genre  : romance
Rating : teenager
Length : oneshoot
Disclaimer :
They own themselves, I just own the storyline and the words…
FF ini pernah dipublish sebelumnya (dengan judul sama) di Page “Super Junior Fanfiction”
dengan cast Yesung dan Donghae Suju, tapi FF ini asli tulisan saya sendiri :D Judul FF ini saya ambil dari judul lagu lawas milik Roxette. Mohon saran dan kritik bagi yang berkenan~~ *bow*
Happy reading ^^
Firly’s POV
Secangkir black coffe di mejaku belum kusentuh sama sekali.
Aku menatap keluar dengan gusar, meneliti jalanan pagi yang padat. Dinding cafe yang terbuat dari kaca ini mempermudah mataku meneliti keluar, melewati mobil-mobil yang lalu lalang, menghinggapkan pandangan pada bangunan kecil tepat di seberang jalan ini. Sebuah toko bunga bercat dominan warna ungu.
Sosok itu belum juga terlihat.
Aku berpaling sebentar, mengangkat cangkir kopiku dan menyesapnya sedikit. Dulu aku tidak menyukai kopi hitam meskipun aku begitu sering datang ke sini. Favoritku adalah segelas espresso, dan Arthur lah yang selalu memesan black coffee. Entah sejak kapan aku mulai menyukai black coffee juga. Setiap kali menghadapi cangkir putih yang kontras dengan hitam kopi ini, kalimat itu seakan terngiang-ngiang di telingaku.
“Pagi tanpa secangkir kopi adalah hari tanpa matahari, Kak.”
Dulu aku terbahak usai Arthur mengucapkannya. Bagiku dia orang yang selalu berlebihan. Sekarang aku tersenyum kecil, menemukan kenyataan bahwa setiap pagi aku selalu minum secangkir kopi.
Aku berpaling lagi ke seberang jalan. Ah, dia sudah datang. Gadis bertubuh kurus dengan wajah agak tirus itu sudah selesai membuka pintu, lalu menghilang masuk ke dalam toko. Pagi ini dia memakai gaun berwarna putih dengan corak bunga-bunga kecil berwarna merah tua. Aku sudah hafal kebiasaannya, sebentar lagi dia akan keluar, menata bunga-bunga di teras toko. Benar saja. Lonceng di pintu bergoyang ketika dia keluar lagi, membawa seikat tangkai bunga krisan di tangannya.
Dia mulai menata bunga itu di teras dengan jari-jari kurusnya. Rambutnya yang hitam panjang terurai, dengan anak-anak rambut halus berjatuhan di keningnya. Dia di sana seperti lukisan dengan latar belakang toko bunga bercat ungu. Sekarang aku sedikit mengerti apa yang dirasakan adikku dulu ketika melihatnya.
“Namanya Mary, Kak!”
Sore itu Arthur berseru senang sambil menghampiriku. Tangan kirinya membawa buku sketsa yang memang selalu dibawanya ke mana-mana.
“Umurnya 23 tahun. Toko bunga itu milik ayahnya, dia sudah setahun membantu menjaga toko itu. Dia tinggal di…”
“Heh! Arthur Stefano!” Aku membentaknya, “Kau ini seorang stalker atau apa? Lama-lama aku jadi takut padamu.”
Arthur malah tertawa.
“Kau tahu kenapa aku menyukainya, Kak?” Dia mulai melankolis lagi. “Karena ketika melihatnya, hal yang pertama kupikirkan adalah aku harus mengingat wajahnya agar aku bisa melukisnya nanti.”
Sekarang akulah yang sedang memandangi gadis itu. Harusnya aku membencinya. Harusnya aku membencinya. Ulang hatiku berkali-kali. Ya, harusnya aku membenci gadis berwajah tirus itu, bukannya malah memandanginya hampir setiap pagi seperti ini.
“Wajahnya seperti senja, Kak,” lanjut Arthur ketika itu,”Wajahnya membuatmu mengenang sesuatu yang entah apa. Dia tidak cantik, tapi sekali kau melihatnya, kau tidak akan bisa melupakannya.”
Aku mengingat hampir setiap kalimat Arthur tentang gadis itu. Entah aku tersugesti atau apa, aku memang tidak bisa melupakan wajahnya. Dulu aku selalu menganggap setiap kalimat Arthur berlebihan, hanya keluar dari pikiran orang kurang waras yang senang pada hal-hal melankolis. Tapi sekarang, semua kalimat itu melekat sangat erat di otakku.
Aku muak pada diriku sendiri.
Kutinggalkan cangkir kopiku, cepat-cepat melangkah keluar menuju tempat parkir. Selain aku tidak ingin lebih lama lagi memandangi gadis itu, sekarang juga sudah waktunya pergi ke kantor.
***
***
Mary’s POV
Aku selesai merangkai bunga-bunga krisan ini. Setelah puas memandanginya, aku berpaling ke jalanan. Pagi seperti ini jalanan selalu ramai. Mendadak mataku menangkap sesuatu. Seseorang berjas hitam keluar dari cafe tepat di seberang jalan, berjalan menghampiri mobil silvernya. Mobil itu meluncur ke jalanan dengan cepat, menghilang dari pandangan. Tidak, bukan mobil mewahnya yang menyita perhatianku, bukan juga penampilan lelaki itu. Tapi aku merasa diamenatapku. Ya, dia menatapku ketika berjalan terburu-buru ke mobilnya. Aku tidak tahu tatapan macam apa itu, tapi dadaku berdesir, seperti tertekan sesuatu. Dia menatapku dengan nanar, sedikit sayu, tapi tajam. Tatapan yang belum pernah kudapatkan sebelumnya. Dan lagi, rasanya aku pernah bertemu dengan lelaki itu. Tapi kapan? Di mana?
***
***
            Firly’s POV
Aku menutup pintu mobil sambil melirik jam tangan yang melingkari tangan kiriku. Pukul 20.00. Sambil berjalan ke dalam rumah, kumasukkan kedua tangan ke saku celanaku. Rumah besar ini seperti biasa, lengang. Seperti tidak berpenghuni.
“Ah… Firly…” Simbok menyambutku di ruang tengah, ”Kau mau makan malam?”
“Terimakasih, Mbok, tapi aku sudah makan,” aku tersenyum simpul, ”Malam ini aku ingin tidur di sini.”
“Ah…. Naiklah ke atas. Wajahmu terlihat lelah sekali.”
Wanita paruh baya itu tersenyum sambil mendorong punggungku. Sejak dulu dia sudah seperti ibu bagiku dan Arthur. Sebagai anak tunggal, Arthur selalu kesepian di rumahnya sendiri. Ayah dan Ibunya terlalu sibuk dengan bisnis mereka sampai-sampai mengajak Arthur berlibur pun mereka sering tidak bisa. Sekarang, mereka bahkan lebih memilih tinggal di Kanada dan meninggalkan rumah ini. Simbok lah yang berperan sebagai ibu bagi Arthur sejak kecil. Dia selalu bisa memaafkan kenakalan-kenakalan kami yang selalu usil dan jahil di manapun kami berada. Arthur adalah semacampartner in crime bagiku.
Aku menyalakan lampu di kamar luas berdinding merah hati ini. Setelah melepas sepatu, kaos kaki dan jasku, aku menjatuhkan diri di atas ranjang, berbaring menatap langit-langit. Ketika berguling ke kiri, pandanganku jatuh kepada lukisan yang tergantung di dinding. Seorang gadis memakai gaun putih, tersenyum samar dengan seikat scarlet carson dalam genggamannya. Itu lukisan Arthur. Aku muak melihatnya dan ingin menyingkirkannya dari dinding itu, seandainya saja aku punya keberanian. Tapi aku tidak pernah berani menyentuh barang-barang Arthur, bahkan setelah dia tidak ada di sini.
“Arthur bodoh….” gumamku dengan suara bergetar.
“Kak! Kak! Ikut aku!”
Dalam bayanganku muncul seorang anak lelaki kecil berbaju biru, berlari ke arahku lalu semena-mena menarik tanganku yang sedang asyik bermain pasir di taman.
“Hei! Kenapa kau menarik-narik tanganku?” gerutuku padanya.
“Lihat itu, Kak!”
Arthur menunjuk pagar bercat kusam yang ada di sudut taman. Pagar itu sudah rusak, tidak sempurna lagi melindungi tempat ini. Jadi apa yang membuat Arthur begitu girang?
“Ada apa?? Kenapa dengan pagar itu?”
“Bukan pagarnya,” Arthur berjalan mendekati pagar itu, ”Tapi bunga ini, Kak.”
Dia menyentuh bunga-bunga kecil berwarna ungu yang batangnya tumbuh merambati pagar itu. Ada banyak sekali. Bunga-bunga itu berbentuk seperti terompet.
“Kenapa dengan bunga itu?” tanyaku bingung.
“Indah, bukan?”
Arthur tersenyum polos sementara aku menatapnya ganjil.
Waktu itu umurnya 6 tahun dan aku 10 tahun. Aku tidak mengerti kenapa Arthur bisa begitu girang hanya dengan melihat bunga-bunga liar. Dia kemudian berlari ke rumah, mengambil pensil dan buku gambar, lalu membiarkanku bermain pasir sendirian sementara dia sibuk duduk di sudut taman: menggambar bunga itu. Hari itu, untuk pertama kalinya aku tahu Arthur senang melukis. Dan lukisannya memang indah, bahkan bagiku yang sama sekali tidak tahu soal seni.
Aku berpaling dari lukisan gadis antah berantah itu: Mary.
Di samping kamar ini ada sebuah ruangan tempat Arthur biasa melukis, tapi sampai hari ini aku tidak berani membukanya. Aku takut melihat lebih banyak lagi gadis bermata senja itu, sedangkan sekarang aku bahkan tidak bisa melupakan wajanhya hanya dengan melihatnya dari dalam cafe setiap pagi.
“Arthur,,, Apa yang terjadi padaku? Apa yang harus kulakukan?”
Aku bergumam lagi. Mataku mulai panas. Seandainya dia di sini, aku akan memarahinya, aku akan mengatainya bodoh atau pengecut seperti biasanya, aku akan meninju lengannya atau melempari wajahnya dengan bantal seperti setiap kali dia bercerita tentang gadis asing itu.
“Kenapa kau tidak datang ke tokonya, berkenalan lalu mengajaknya minum kopi?” tanyaku suatu hari.
“Dia lebih suka minum coklat hangat sambil makan blackforest di toko roti, Kak.” Arthur tersenyum.
Aku terperangah. Dia bahkan tahu sampai hal sekecil itu. Sebenarnya dia ini menyewa detektif atau apa?
“Arthur bodoh… “ejekku, “ Dengan terpaksa kukatakan kau ini tampan, jadi kenapa kau harus takut hanya untuk mengajak seorang gadis berkenalan? Ini sudah hampir satu tahun!”
“Aku tidak takut, Kak. Aku hanya mencari waktu yang tepat.”
“Aiish… Waktu yang tepat itu tidak dicari, Arthur, tapi diciptakan. Kau ini pengecut sekali.” Aku sok tahu menasehatinya. Dia tersenyum simpul seperti biasa.
“Kau tidak akan mengerti, Kak,”katanya, ”Aku minta kau ingat satu hal. Kalau aku tidak sempat mengatakan padanya, kau yang harus memberitahunya bahwa Arthur bodoh ini sudah jatuh cinta padanya.”
Hatiku getir mengingat kalimat itu. Kau yang harus memberitahunya bahwa Arthur bodoh ini sudah jatuh cinta padanya. Bagaimana aku bisa memberitahunya, sedangkan aku ingin sekali membencinya? Bagaimana aku bisa memberitahunya, sedangkan aku mulai merasa aneh jika tidak melihat wajahnya sehari saja? Bagaimana bisa? Beritahu aku apa yang harus kulakukan, Arthur… Apa kau marah padaku sekarang? Apa kau menghukumku karena aku selalu menertawakanmu yang jatuh cinta pada gadis asing yang tidak kau kenal? Apa kau akan membenciku karena aku tidak membencinya, tapi malah diam-diam menyukai wajahnya? Aargghhh… Kepalaku pusing.
***
***
Bulan Desember membuatku lebih murung dibanding biasanya. Mendadak aku malas berbicara dengan orang lain, bahkan aku juga malas untuk sekedar tersenyum.
Jam istirahat kantor seperti ini, aku lebih memilih berjalan-jalan keluar dibanding makan bersama orang lain. Benar kata Arthur, bekerja di kantor sangat membosankan. Dulu dia mati-matian menolak bujukan orang tuanya untuk mewarisi perusahaan keluarga dan lebih memilih menjadi wartawan sambil tetap melukis atau menggambar di mana saja dia ingin melakukannya. Dan paling sering, dia menggambar di cafe depan toko bunga itu. Siapa lagi kalau bukan Mary yang menjadi objeknya.
Lamunanku buyar ketika ada mendengar suara tangisan tak jauh dari tempatku berdiri. Seorang gadis mungil berjongkok di dekat ayunan taman, menundukkan kepala dengan bahu berguncang-guncang karena tangisannya.
“Hei tuan putri, kenapa kau menangis?”
Gadis mungil itu mendongak dengan wajah terkejut, matanya sembab dan basah.
“Sudah, jangan menangis lagi….” kataku, “Kenapa kau menangis?”
“Temanku bilang… dia bilang… aku jelek…” dia menjawab dengan tersendat-sendat, ”Dia bilang… aku gendut… dan jelek…”
Aku menahan senyum. Bagaimana bisa temannya mengatai anak secantik ini jelek? Dasar anak-anak.
“Tidak… Kau cantik, sangat cantik… Lihat, kau bahkan lebih cantik dari bunga itu.”
Aku menunjuk rumpun bunga matahari di dekat kami. Dia tersenyum sedikit.
“Kau mau coklat? Kakak akan memberimu coklat kalau kau berhenti menangis.”
Dia mengangguk-angguk cepat. Matanya mulai bersinar. Aku mengajaknya berdiri dan menggenggam tangannya, ketika mendadak seseorang berseru dari kejauhan.
“Yuri! Yuri!”
“Kakak!!”
Gadis mungil itu melepaskan tanganku dan berlari menghampiri orang yang memanggil namanya.
“Kenapa kau pergi dari sekolah? Kakak dan Ibu Guru sibuk mencarimu…”
“Randy nakal, kak. Dia mengatakan aku jelek…” Gadis mungil bernama Yuri itu mengerucutkan bibirnya.
“Apa?? Siapa yang berani mengataimu jelek? Nanti kakak jewer telinganya.”
Gadis itu tertawa. Aku masih terpaku di tempatku semula. Tanganku gemetar mendengar suaranya.
“Ayo kita kembali ke sekolah. Nanti kakak bisa dimarahi kalau ibumu tahu kau membolos…”
“Tapi aku mau coklat, kak. Kakak itu mau memberiku coklat…”
Yuri menunjuk ke arahku. Gadis itu memandangku, menatap tepat ke bola mataku. Tubuhku rasanya limbung dan beku.
***
***
Mary’s POV
Mary mengarahkan tangannya pada seorang lelaki yang berdiri di dekat kami, tapi aku tidak menyadari keberadaannya sejak tadi. Mataku membulat ketika melihatnya. Dadaku berdesir lagi. Itu dia. Lelaki yang beberapa hari yang lalu menatapku dari halaman cafe. Lelaki yang akhirnya kuketahui hampir setiap pagi datang ke cafe itu. Ya, itu dia. Dan aku makin yakin aku pernah melihatnya di suatu tempat.
Yuri menarikku mendekati lelaki itu. Apa ini hanya perasaanku saja? Dia terlihat gugup dan kebingungan.
“Kakak,,, mana coklatku?” Yuri menengadahkan tangannya. Lelaki itu masih terlihat kaget, entah kenapa.
“Maaf, maaf sekali,,,, Yuri sudah tidak sopan,” kataku akhirnya.
“Eh… tidak… Aku… aku yang sudah berjanji akan memberinya coklat.”
Lelaki itu merogoh saku celananya dengan terburu-buru.
“Ini coklatmu, tuan putri. Jangan menangis lagi, ya. Kau cantik kalau tersenyum.”
Dia mengulurkan coklat itu pada Yuri yang kegirangan. Aku ingat sekarang… Aku ingat sesuatu… mata yang menatapku nanar itu…
***
***
Firly’s POV
Pagi ini kembali sama, dengan secangkir black coffee di atas meja. Yang berbeda adalah hatiku. Hari ini, 15 Desember, tepat setahun sejak kepergian Arthur, sahabat yang sudah melebihi saudara kandungku sendiri. Kami sama-sama anak tunggal dan berteman sejak kecil, sejak dia dan keluarganya datang dari Kanada dan tinggal tepat di samping rumahku. Waktu itu usianya masih 3 tahun. Arthur kecil yang sering ditinggalkan ayah dan ibunya lebih sering tinggal di rumahku dan dia manja pada orang tuaku seperti kepada orang tuanya sendiri.
Aku menyesap kopiku. Hari ini aku harus mengatakannya kepada gadis itu, bagaimanapun caranya, tidak peduli aku masih belum bisa melupakan tatapannya padaku di taman, seminggu yang lalu. Aku ingin memakinya seperti yang ingin kulakukan setahun yang lalu. Aku ingin menyalahkannya atas kepergian Arthur. Sungguh, aku ingin melampiaskan kesedihanku padanya. Bagaimana tidak? Hari itu, Arthur akhirnya memutuskan menemui Mary. Dia tidak segugup yang kubayangkan dan bahkan tidak mengatakan apa-apa padaku. Pagi itu dia datang ke rumahku dengan senyum simpulnya yang biasa.
“Aku akan pergi hari ini, Kak,” katanya, “Menemuinya.”
Aku menepuk-nepuk bahunya dengan wajah salut sambil menahan tawa.
“Semoga berhasil,” hanya itu yang kukatakan.
“Hei! Kak! Aku tidak akan mengajaknya menikah sekarang juga, aku hanya ingin membeli bunga untuk orang yang istimewa.”
Aku tertawa, tidak begitu memperhatikan jawabannya.
“Ingat lagi, Kak. Kalau aku tidak sempat mengatakannya, kau yang harus memberitahu dia bahwa aku mencintainya.”
Aku masih ingat bagaimana wajahnya yang damai ketika aku sampai di rumah sakit. Aku masih merasakan tubuh bekunya, tangannya yang dingin saat kugenggam. Teman yang sangat kusayangi, yang sangat berharga seperti saudara kembarku sendiri, akhirnya pergi secepat itu karena kecelakaan. Mobilnya terhantam truk yang melanggar lampu merah, tepat di perempatan dekat cafe ini, dekat toko bunga itu. Aku gemetar lagi mengingat wajahnya, mengingat jok mobil yang berlumuran darah dan seikat calla lily putih yang warnanya berubah kemerahan. Itu semua karena gadis antah berantah itu. Karena Arthur jatuh cinta padanya. Karena Arthur menemuinya.
Aku bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar. Aku harus menemui gadis itu sekarang juga.
“Aaah!!!”
Karena terlalu terburu-buru, tanpa sengaja aku menabrak seseorang. Aku mengibaskan tanganku yang terkena tumpahan kopi panas yang dibawa orang itu.
“Maaf… Maafkan saya….” terdengar suaranya meminta maaf.
Suara ini…
“Kak Firly…” Matanya membulat kaget. Aku menatapnya tidak percaya.
“Bagaimana… kau bisa tahu namaku?”
Dia diam sejenak menguasai keterkejutannya.
“Ayo ikut aku. Lukamu harus diobati.”
Seperti hilang kesadaran, aku menuruti langkahnya ketika dia menarik tanganku menyebrangi jalan, masuk ke tokonya dan duduk di kursi halaman belakang toko itu. Aku memandang sekitar dengan linglung. Pandanganku tertuju pada pagar bercat putih yang mengelilingi halaman. Bukan pagar itu, tapi bunga terompet kecil berwarna ungu yang pohonnya merambat di sana. Bunga yang digambar Arthur… Aku masih menatap bunga itu sampai dia mengolesi tanganku dengan obat luka bakar.
“Itu bunga morning glory. Mereka mekar setiap pagi,” katanya tanpa menatapku, “Indah, bukan? Dulu adikmu juga mengatakannya.”
Dia mendongak dan menatapku.
“Kita bertemu setahun yang lalu di rumah sakit, bukan?”
Aku masih diam. Di rumah sakit? Apakah…
“Ah, tidak. Aku melihatmu di rumah sakit, Kak, barangkali kau yang tidak melihatku. Aku mendengar ibu yang datang kemudian memanggilmu “Firly.” Aku… aku turut berduka cita untuk adikmu.”
Dia menunduk, menggigit bibirnya. Jadi gadis ini ikut mengantarkan Arthur ke rumah sakit? Sementara kami diam, aku memandangnya, dari jarak sedekat ini. Matanya memang senja… Wajahnya teduh dan seperti tempat pulang… Aku kehilangan semua makian dan kalimat kejam untuk menyalahkannya. Lagipula apa salahnya sebenarnya?
“Pagi itu dia baru saja datang ke sini, membeli seikat calla lily. Dia bilang, dia akan memberikan itu sebagai hadiah ulang tahun untuk orang yang sangat berharga baginya. Aku bahkan tidak tahu namanya sampai sekarang…”
Ulang tahun? Dia bilang dia membeli hadiah ulang tahun? Hari ini, 15 Desember? Tubuhku kaku, mataku mengabur. Jadi dia membeli bunga itu untuk hadiah ulang tahunku? Dan dia bahkan tidak menyebutkan namanya pada gadis ini?
“Namanya Arthur… Namanya…. Arthur…”
Kepalaku tertunduk dengan bibir dan suara bergetar.
“Namanya Arthur,” kataku, “Dan dia sangat mencintaimu,,,, Mary…”
Sekarang gadis itu yang menatapku tidak percaya. Bibir mungilnya setengah terbuka, wajahnya terkejut dan bingung.
“Kau harus ikut aku sekarang.”
Aku menarik tangannya tanpa persetujuan.
***
***
Mary’s POV
Aku masih terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa ketika laki-laki bernama Firly ini menyeretku, membawaku naik ke mobilnya, duduk di sampingnya di dalam mobil, lalu diseret lagi masuk ke sebuah rumah megah, menaiki tangga dan masuk ke sebuah ruangan.
“Lihat ini… Dia sangat mencintaimu, bahkan meski kau tidak pernah tahu namanya.”
Aku terperangah. Mendadak mataku panas. Benarkah ini semua aku? Kupandangi semua lukisan di ruangan luas ini, yang tergantung di dinding, yang tergeletak di lantai, sketsa-sketsa di lembaran kertas yang belum selesai. Aku tidak tahu ini benar atau tidak.
“Ya, itu kau, Mary,” kata Firly, seolah mengerti kebingunganku.
Aku menyentuh satu lukisan. Di sana “aku” memakai gaun kuning, memegang payung biru di depan toko bunga. Ya, itu aku. Itu payungku. Di lukisan lain, aku sedang duduk di dalam toko roti dengan segelas coklat hangat. Aku sedang menggunting tangkai bunga krisan. Aku sedang mengelap kaca. Aku sedang bersama Yuri. Aku sedang duduk di bangku taman. Aku.. semuanya aku…
Entah kenapa mataku mengabur. Kututup mukaku dengan kedua tanganku. Bagaimana bisa ada orang seperti ini? Padahal dia tidak mengenalku? Bahkan aku belum sempat mengucapkan terimakasih padanya… Bahkan aku hanya sekali bicara padanya, kemudian harus melihatnya lagi ketika berlumuran darah dan kehilangan kehidupannya…
“Dia melakukan ini selama satu tahun. Dia tidak pernah berhenti membicarakan dan melukismu, sampai pagi itu… “
Aku menatap lelaki bernama Firly itu. Matanya basah. Dia menangis tanpa suara.
“Maaf, Mary… Maafkan aku.. Selama ini aku ingin sekali membencimu, menyalahkanmu atas kepergian Arthur. Aku bahkan tidak tahu bunga itu dia beli untukku… Aku tidak tahu….”
Dia menunduk. Tidak, jangan menangis… Aku tidak tahu kenapa ingin meraih tangannya yang gemetar. Dia mengangkat wajahnya, menatapku.
“Tidak apa-apa, Kak Firly,,, tidak apa-apa,,,”
***
***
Firly’s POV
“Tidak apa-apa, Kak Firly,,, tidak apa-apa,,,” katanya sambil meraih tanganku yang gemetar.
Aku memandangi wajahnya, wajah yang dicintai Arthur, wajah yang barangkali juga kucintai…
“Mary, Arthur selalu berkata, jika dia tidak sempat mengatakannya padamu, aku harus memberitahumu bahwa dia jatuh cinta padamu. Bahwa dia sangat mencintaimu.”
Mary melepaskan genggamannya. Dia menangis lagi sambil menunduk. Bahunya berguncang.
Maafkan aku Arthur.. Maaf… Tolong jangan hukum aku, aku hanya ingin menjaganya, aku ingin melakukan apa yang tidak sempat kau lakukan bersamanya…
Aku merengkuh tubuh kurus itu ke dalam pelukanku.
“Jangan menangis Aku tidak ingin melihatmu menangis…” bisikku ke telinganya.
Dia tidak menjawab. Dan aku tidak perlu jawaban. Kebencian yang selama ini kukambinghitamkan berguguran di hatiku, seperti kelopak-kelopak scarlet carson yang berjatuhan dalam lukisan Arthur.
***
Shared by @Card_To_S4