Thursday, June 6, 2013

#S4Fanfiction ~ Just Let Me Love You Part 1 ~

Author               : @ismipurisa
~Just Let Me Love You ~ Part 1 

Genre                 : romance
Rated                 : semua boleh baca ko
Fandom            : S4US
Disclaimer       they own themselves, I just own the storyline and the words…
Cast                    : All members S4
Reita (fiktif)
Other casts

Reita’s POV
Aku mengisi piring kosong di tangan kiriku dengan nasi goreng yang masih panas dari atas kompor. Dan tidak boleh lupa, telur mata sapi. Utuh. Anak bandel itu tidak suka nasi goreng dengan telur orak-arik. Harus telur mata sapi.
Sambil meletakkan piring itu di atas meja makan, aku meneriakkan namanya untuk yang ke-lima belas kali pagi ini. Tapi anak itu belum juga terlihat, padahal sudah hampir jam 8. Aku melihat Simbok menuruni tangga sambil geleng-geleng kepala, menandakan dia tidak berhasil menyelesaikan misi pagi itu: membangunkan si bandel. Huft… Aku harus turun tangan sendiri.
Setengah berlari aku menaiki tangga. Aku tidak perlu mengetuk pintu untuk masuk ke kamarnya. Segera kukeluarkan kunci cadangan yang kusimpan di saku bajuku. Dia sudah lama protes dan selalu berusaha mencuri kunci ini begitu aku lengah. Tapi sayang sekali, aku lebih cerdik dibanding dia. Hahahaha.
“Dasar pemalas,,,” gumamku melihatnya masih bergelung di bawah selimut.
“Alif!!! Ayo bangun!!! Udah hampir jam 8 lho!!!!”
Aku mengguncang-guncang bahunya. Dia bergeming.
“Ayo bangun dong… Nasi gorengnya udah mateng tuh,,,”
Dia mengeluarkan suara semacam gumaman sambil bergerak sedikit, tapi masih saja belum mau bangun.
“Ya udah deh kalau nggak mau bangun,,,”
Aku pura-pura menjauh dari tempat tidurnya, tapi dua detik kemudian aku naik ke atas tempat tidur dan menyerangnya. Alif menjerit kaget dan berusaha mendorongku menjauh. Dia paling tidak tahan kalau aku menggelitiki pinggangnya.
“Ampun Kak,,, ampuuun!!!!!!” Dia berteriak-teriak histeris.
“Bangun nggak, ayo cepetan bangun terus mandi!!!” Aku masih terus menyerangnya.
“Iya,, Alif bangun,,, terus mandi,, Udah dong Kak,, ampun,,,”
Dia memohon dengan wajah memelas. Aku melepaskannya sambil tertawa penuh kemenangan. Dia bangkit sambil manyun, mencoba memasang tampang sekesal mungkin.
“Curang!!!” protesnya.
“Bukan curang, Alif sayang,” kataku,”Tapi cerdik.”
“Awas ya,,, pokonya kunci itu pasti bakal kucuri!!!” dia mengancam, entah sudah yang keberapa ratus kali sejak aku memiliki kunci itu.
“Cepet bangun nggak, atau….” aku mengangkat kedua tanganku, siap menggelitikinya lagi.
“Iya… iya!!! Bawel!!!” Dia melompat turun dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi.
Aku tertawa geli. Dia sudah kuliah, tapi masih saja seperti anak-anak. Kadang-kadang aku bahkan lupa kalau usianya sudah 19 tahun. Aku merasa dia masih sama seperti Alif kecil yang dulu selalu menangis setiap kali aku menyembunyikan mobil-mobilannya. Atau Alif kecil yang sewaktu sekolah dasar selalu mencariku setiap jam istirahat sambil membawa-bawa botol minuman di lehernya. Tapi tidak seharusnya aku heran, Bunda memang selalu memanjakan anak itu. Sampai SMP saja Bunda masih sering mengambilkan makan dan menyuapi Alif…
Sekarang… Alif harus bisa makan sendiri, bahkan kadang dia harus benar-benar makan sendirian kalau aku masih sibuk di luar.
***
Aku berjalan cepat menuju kelas. Gara-gara mengurusi si bandel itu, aku jadi hampir terlambat. Membangunkan Alif adalah pekerjaan rutin yang tidak bisa dianggap enteng. Bahkan Simbok saja lebih sering menyerah untuk urusan yang satu itu. Padahal, selain membangunkannya, aku juga harus memasak. Meskipun Simbok sudah mengasuh kami sejak kami masih kecil, tapi di rumah, Alif tidak pernah mau makan masakan selain masakanku. Dia bilang, masakanku mirip masakan Bunda.
Kulirik lagi jam yang melingkar di tangan kiriku. Sudah terlambat lima menit. Aku harus cepat kalau tidak ingin Pak Anton menelanku bulat-bulat!
“Sepertinya kamu butuh mobil sendiri kalau tidak ingin terlambat lagi.”
Tiba-tiba seseorang menjajari langkahku sambil mengucapkan kalimat itu. Mau tidak mau aku menoleh. Mataku membulat, agak tidak percaya dengan penglihatanku sendiri. Tidak, bukan karena mendadak aku terkena rabun dekat, tapi karena orang yang berjalan di sampingku sekarang adalah “si arca batu.” Iya, dia benar-benar si arca batu… –tentu saja aku sendiri yang menjulukinya begitu, karena menurutku dia begitu jarang terlihat bicara atau berkumpul dengan orang lain. Kami satu jurusan selama lebih dari dua tahun dan hampir selalu sekelas, tapi intensitasku bicara dengannya bisa dihitung dengan jari!!! Benar, dengan jari tangan saja, tidak ditambah jari kaki!!!
Seperti biasa wajahnya datar, seolah-olah dia memang tidak punya ekspresi dan hanya emosi semacam itulah yang dia tunjukkan seumur hidupnya. Dia juga masih memakai celana jeans belel yang kucurigai ada selusin lebih di lemarinya karena saking seringnya aku melihat dia memakai celana semacam itu. Tas ransel hitam tersampir di pundak kanannya (aku tidak bisa menebak apa isinya karena setahuku dia jarang menulis di kelas). Seingatku tas itu tas yang sama dengan yang dia pakai sejak Ospek.
Ya ampun,,,aku terkejut dan malu karena ternyata aku begitu memperhatikannya.
Jadi tadi dia bilang apa? Aku butuh mobil agar tidak terlambat lagi? Hah. Dia kira dia siapa, mahasiswa teladan? Dia bahkan bisa dibilang “sangat sering terlambat” dan “rajin bolos.” Dan sekarang mendadak dia menasehatiku?
“Oh, nggak kok… Aku suka naik bis,” jawabku asal sambil mempercepat langkahku yang sempat melambat. Tentu saja selain suka naik bis, bagiku mobil bukan kebutuhan yang penting sekarang. Apalagi Alif baru saja punya motor baru. Dia sudah merengek padaku selama kurang lebih tiga tahun demi mendapatkan motor itu.
Tanpa kuduga, dia menjajariku lagi.
“Oh yah,,, kamu cocok kok naik bis.”
Aku pura-pura tidak mendengar kalimatnya karena tanganku sedang meraih gagang pintu kelas. Aman. Pak Anton belum datang. Secepat kilat, aku melesat ke bangku kosong di samping Hana yang sedang melongo keheranan karena melihat si arca batu itu berjalan di belakangku.
“Rei… kamu…” matanya membulat maksimal, ”Berangkat bareng sama Arthur???”
Rasanya aku ingin melakban mulut bawel Hana yang keterlaluan karena menanyakan hal itu dengan volume keras sementara Arthur sedang melewati kursi kami. Bagus!!! Sekarang dia bahkan berhenti dan menatapku. Iya, menatapku dengan ekspresi yang kuartikan sebagai ‘aku ingin menelanmu mentah-mentah.’ Aku pura-pura sibuk mengeluarkan buku dari tas untuk menghindari tatapannya. Untunglah, Pak Anton berdehem cukup keras dari pintu kelas. Jadi, untuk sementara aku aman dari tatapan aneh dan juga berondongan pertanyaan dari Hana.
Tapi rasa aman itu ternyata hanya sementara.
Segera setelah kelas berakhir, Hana membombardirku dengan pertanyaan-pertanyaan aneh yang terpaksa kuabaikan sampai kami duduk di kantin dan minum jus apel. Temanku yang satu ini memang sungguh sangat hiperbolis.
“Masa sih dia tiba-tiba jalan gitu aja di samping kamu?”
Mata Hana menyipit tidak percaya. Aku sampai tersedak. Selama ini Hana tahu bahwa aku punya semacam rasa antipati kepada Arthur yang menurutnya tidak beralasan. Jadi, baginya “masuk ke dalam kelas bersama orang yang tidak kau sukai” adalah hal yang patut dicurigai.
“Terus kamu pikir apa? Dia njemput aku di rumah, gitu? Selama ini kita bahkan nggak tahu dia ke kampus naik apa.”
Itu benar. Aku dan Hana sama sekali tidak tahu bagaimana orang itu sampai di kampus. Kami tidak pernah melihatnya membawa mobil, turun dari bis atau naik taksi. Menurut spekulasiku dia berangkat ke kampus naik odong-odong atau helikopter pribadi yang didaratkan di landasan rahasia yang ada di atap kampus. Hah!
“Yah…sebenarnya sih aku senang kalau kamu bisa berteman sama dia. Kayaknya cuma kamu deh, Rei, yang mengganggap dia aneh.”
Hana membentuk tanda kutip di udara ketika mengucapkan kata “aneh.”
“Siapa yang bilang dia aneh, Hana sayang? Aku cuma bilang dia itu arca batu karena jarang ngobrol sama orang lain.”
“Oh,,, aku sering kok ngobrol sama dia.”
Aku melengos. Yah, benar, kamu sering “ngobrol” dengannya jika “ngobrol” itu berarti kamu yang mengajak dia bicara duluan dan sepanjang obrolan itu dia hanya ber ah-oh atau mendengarkan tanpa ekspresi apa-apa, batinku.
“Dan orang lain juga “ngobrol” sama dia.”
Hana masih kekeuh mendebatku. Aku menengok ke arah yang ditunjukkan Hana dengan gerakan dagunya barusan. Beberapa meja dari kami, terlihat Arthur sedang duduk bersama Kristal dan gengnya. Aku sih tidak heran, semua orang juga tahu kalau Kristal sepertinya terobsesi pada Arhur, seakan-akan hidupnya belum sempurna kalau Arthur belum memperhatikannya. Jadi tentu saja dia rela menjadi “lumut yang mencoba mengikis kerasnya bebatuan.”
Aku tertawa sendiri oleh perumpamaan yang kubuat.
***
Handphoneku bergetar ketika aku sedang menunggu bis di depan gerbang kampus.
“Kak, aku jemput ya, aku antar ke studio. Sekalian nih dari kampus,” Alif langsung menyerbu.
“Nggak usah, Kakak naik bis aja, Lif.”
”Tapi Kak…”
“Udah, kamu langsung pulang, terus makan. Kakak udah siapin makan siangnya di dapur. Awas ya, jangan ngebut. Bye.”
Aku segera menutup telfon. Belakangan ini, sejak punya motor baru, Alif jadi sering memaksa ingin menjemput atau mengantarku. Padahal kampusku tidak searah dan cukup jauh dari kampusnya. Akan lebih baik kalau dia tidak kelelahan.
Tiba-tiba sebuah mobil berwarna silver berhenti tepat di depanku. Awalnya aku tidak memperhatikannya, karena kukira mobil itu memang mau parkir di sana. Tapi kaca jendela mobil itu terbuka, dan seseorang di dalamnya tersenyum padaku.
***
Author’s POV
Kaca jendela mobil itu terbuka dan seseorang di dalamnya tersenyum.
“Kak Firly!” seru Reita sambil balas tersenyum.
“Hai, Rei!” Cowok di dalam mobil itu membuka kacamata hitamnya.
“Kok udah pulang? Katanya ada urusan di Hongkong?”
“Iya, udah selesai kok. Lagian…” Firly menggantungkan kalimatnya,”Aku kangen sama kamu.”
Reita tergelak. Orang ini ada-ada saja. Sebenarnya Reita sendiri kikuk kalau harus bercanda dengannya dan memanggilnya “Kak”, karena di tempat kerjanya bisa dibilang Firly adalah atasannya. Sejak satu tahun yang lalu Reita menjadi penyiar di salah satu stasiun radio yang cukup besar di kota itu. Dia masuk ke sana tepat ketika Firly, putra pertama pemilik stasiun radio itu baru saja selesai kuliah di Amerika dan masuk ke studio sebagai atasannya. Menurut gosip yang Rei dengar sih, ayah Firly sedang mengadakan semacam “tes” padanya dengan mengelola radio itu sebelum menyerahkan bisnis yang lebih besar ke tangannya.
“Mau ke studio, kan? Bareng aja, yuk.”
Firly membukakan pintu mobil. Mau tidak mau, Reita masuk sambil mengucapkan terimakasih. Dari kejauhan, sepasang mata mengawasi mobil itu sampai hilang di tikungan.
***
Reita sudah menduga bahwa akan terjadi kehebohan kalau dia datang bersama Firly ke studio. Apalagi dia ikut membantu membawakan beberapa bungkusan oleh-oleh dari Firly. Beberapa orang mengucapkan terimakasih sambil dengan anehnya mengedip-ngedipkankan mata padanya ketika dia membantu membagikan oleh-oleh itu. Dia pura-pura tidak tahu apa-apa.
“Reita……!!!!!!!!!!!!!!”
Syukurlah, teriakan heboh itu membantunya menghindari tatapan orang-orang.
“Bang Jeje!!!!!!”
Reita memeluk orang yang tadi berseru memanggilnya. Sudah seminggu penyiar seniornya itu pulang kampung ke Medan. Dan jujur Rei sudah kangen padanya.
“Eh…tunggu dulu.”
Rei megamat-amati Jeje dengan tampang serius.
“Apaan sih?” Jeje penasaran.
“Rambutmu, Bang! Rambutmu kenapa jadi blonde begini?”
Reita mengacak-acak rambut Jeje. Jeje tertawa.
“Nggak papa, ganti suasana aja. Tambah cute kan?”
Reita berlagak pura-pura muntah dan malah membuat tawa Jeje makin keras.
Sepuluh menit kemudian mereka sudah duduk di ruang siar. Bagi Rei mendapatkan partner seperti Jeje adalah sesuatu yang sangat dia syukuri. Sejak awal kedatangannya Jeje banyak membantu dan membimbingnya sampai dia bisa bertahan selama ini di radio itu.
“Oke… cerita yang menarik sekali.”
Kata Jeje begitu seorang pendengar selesai bercerita lewat telfon. Menurut Rei, cerita barusan lebih tepat disebut “tragis” dibanding menarik, karena cewek itu baru saja bercerita tentang masa-masa suramnya selama Ospek yang berakhir bulan lalu.
“Pastinya,,, Ospek itu memang berkesan banget ya, Bang Jeje? Kalian pasti juga punya cerita-cerita menarik seputar Ospek yang bisa di-share bareng kita di sini.”
Demi kemanusiaan, Rei terpaksa menyetujui pendapat Jeje.
“Bener banget, Rei. Kalau kamu sendiri gimana? Punya pengalaman seru apa pas Ospek?”
Ospek? Reita terdiam. Ingatan tentang masa itu mendadak terputar di otaknya seperti sebuah film. Ingatan tentang sesuatu yang barangkali bisa merusak hipotesis Hana bahwa dia memiliki rasa antipati tidak beralasan kepada makhluk bernama Arthur Stefano.
***
~To Be Continue~ Bersambung~
Shared by : @Card_To_S4 

No comments:

Post a Comment