Thursday, June 6, 2013

#S4Fanfiction ~ Fading Like a Flower ~end

Author : one piece`nya Arthur a.k.a @ismipurisa

Cast     :
  • Firly
  • Arthur
  • Mary
Genre  : romance
Rating : teenager
Length : oneshoot
Disclaimer :
They own themselves, I just own the storyline and the words…
FF ini pernah dipublish sebelumnya (dengan judul sama) di Page “Super Junior Fanfiction”
dengan cast Yesung dan Donghae Suju, tapi FF ini asli tulisan saya sendiri :D Judul FF ini saya ambil dari judul lagu lawas milik Roxette. Mohon saran dan kritik bagi yang berkenan~~ *bow*
Happy reading ^^
Firly’s POV
Secangkir black coffe di mejaku belum kusentuh sama sekali.
Aku menatap keluar dengan gusar, meneliti jalanan pagi yang padat. Dinding cafe yang terbuat dari kaca ini mempermudah mataku meneliti keluar, melewati mobil-mobil yang lalu lalang, menghinggapkan pandangan pada bangunan kecil tepat di seberang jalan ini. Sebuah toko bunga bercat dominan warna ungu.
Sosok itu belum juga terlihat.
Aku berpaling sebentar, mengangkat cangkir kopiku dan menyesapnya sedikit. Dulu aku tidak menyukai kopi hitam meskipun aku begitu sering datang ke sini. Favoritku adalah segelas espresso, dan Arthur lah yang selalu memesan black coffee. Entah sejak kapan aku mulai menyukai black coffee juga. Setiap kali menghadapi cangkir putih yang kontras dengan hitam kopi ini, kalimat itu seakan terngiang-ngiang di telingaku.
“Pagi tanpa secangkir kopi adalah hari tanpa matahari, Kak.”
Dulu aku terbahak usai Arthur mengucapkannya. Bagiku dia orang yang selalu berlebihan. Sekarang aku tersenyum kecil, menemukan kenyataan bahwa setiap pagi aku selalu minum secangkir kopi.
Aku berpaling lagi ke seberang jalan. Ah, dia sudah datang. Gadis bertubuh kurus dengan wajah agak tirus itu sudah selesai membuka pintu, lalu menghilang masuk ke dalam toko. Pagi ini dia memakai gaun berwarna putih dengan corak bunga-bunga kecil berwarna merah tua. Aku sudah hafal kebiasaannya, sebentar lagi dia akan keluar, menata bunga-bunga di teras toko. Benar saja. Lonceng di pintu bergoyang ketika dia keluar lagi, membawa seikat tangkai bunga krisan di tangannya.
Dia mulai menata bunga itu di teras dengan jari-jari kurusnya. Rambutnya yang hitam panjang terurai, dengan anak-anak rambut halus berjatuhan di keningnya. Dia di sana seperti lukisan dengan latar belakang toko bunga bercat ungu. Sekarang aku sedikit mengerti apa yang dirasakan adikku dulu ketika melihatnya.
“Namanya Mary, Kak!”
Sore itu Arthur berseru senang sambil menghampiriku. Tangan kirinya membawa buku sketsa yang memang selalu dibawanya ke mana-mana.
“Umurnya 23 tahun. Toko bunga itu milik ayahnya, dia sudah setahun membantu menjaga toko itu. Dia tinggal di…”
“Heh! Arthur Stefano!” Aku membentaknya, “Kau ini seorang stalker atau apa? Lama-lama aku jadi takut padamu.”
Arthur malah tertawa.
“Kau tahu kenapa aku menyukainya, Kak?” Dia mulai melankolis lagi. “Karena ketika melihatnya, hal yang pertama kupikirkan adalah aku harus mengingat wajahnya agar aku bisa melukisnya nanti.”
Sekarang akulah yang sedang memandangi gadis itu. Harusnya aku membencinya. Harusnya aku membencinya. Ulang hatiku berkali-kali. Ya, harusnya aku membenci gadis berwajah tirus itu, bukannya malah memandanginya hampir setiap pagi seperti ini.
“Wajahnya seperti senja, Kak,” lanjut Arthur ketika itu,”Wajahnya membuatmu mengenang sesuatu yang entah apa. Dia tidak cantik, tapi sekali kau melihatnya, kau tidak akan bisa melupakannya.”
Aku mengingat hampir setiap kalimat Arthur tentang gadis itu. Entah aku tersugesti atau apa, aku memang tidak bisa melupakan wajahnya. Dulu aku selalu menganggap setiap kalimat Arthur berlebihan, hanya keluar dari pikiran orang kurang waras yang senang pada hal-hal melankolis. Tapi sekarang, semua kalimat itu melekat sangat erat di otakku.
Aku muak pada diriku sendiri.
Kutinggalkan cangkir kopiku, cepat-cepat melangkah keluar menuju tempat parkir. Selain aku tidak ingin lebih lama lagi memandangi gadis itu, sekarang juga sudah waktunya pergi ke kantor.
***
***
Mary’s POV
Aku selesai merangkai bunga-bunga krisan ini. Setelah puas memandanginya, aku berpaling ke jalanan. Pagi seperti ini jalanan selalu ramai. Mendadak mataku menangkap sesuatu. Seseorang berjas hitam keluar dari cafe tepat di seberang jalan, berjalan menghampiri mobil silvernya. Mobil itu meluncur ke jalanan dengan cepat, menghilang dari pandangan. Tidak, bukan mobil mewahnya yang menyita perhatianku, bukan juga penampilan lelaki itu. Tapi aku merasa diamenatapku. Ya, dia menatapku ketika berjalan terburu-buru ke mobilnya. Aku tidak tahu tatapan macam apa itu, tapi dadaku berdesir, seperti tertekan sesuatu. Dia menatapku dengan nanar, sedikit sayu, tapi tajam. Tatapan yang belum pernah kudapatkan sebelumnya. Dan lagi, rasanya aku pernah bertemu dengan lelaki itu. Tapi kapan? Di mana?
***
***
            Firly’s POV
Aku menutup pintu mobil sambil melirik jam tangan yang melingkari tangan kiriku. Pukul 20.00. Sambil berjalan ke dalam rumah, kumasukkan kedua tangan ke saku celanaku. Rumah besar ini seperti biasa, lengang. Seperti tidak berpenghuni.
“Ah… Firly…” Simbok menyambutku di ruang tengah, ”Kau mau makan malam?”
“Terimakasih, Mbok, tapi aku sudah makan,” aku tersenyum simpul, ”Malam ini aku ingin tidur di sini.”
“Ah…. Naiklah ke atas. Wajahmu terlihat lelah sekali.”
Wanita paruh baya itu tersenyum sambil mendorong punggungku. Sejak dulu dia sudah seperti ibu bagiku dan Arthur. Sebagai anak tunggal, Arthur selalu kesepian di rumahnya sendiri. Ayah dan Ibunya terlalu sibuk dengan bisnis mereka sampai-sampai mengajak Arthur berlibur pun mereka sering tidak bisa. Sekarang, mereka bahkan lebih memilih tinggal di Kanada dan meninggalkan rumah ini. Simbok lah yang berperan sebagai ibu bagi Arthur sejak kecil. Dia selalu bisa memaafkan kenakalan-kenakalan kami yang selalu usil dan jahil di manapun kami berada. Arthur adalah semacampartner in crime bagiku.
Aku menyalakan lampu di kamar luas berdinding merah hati ini. Setelah melepas sepatu, kaos kaki dan jasku, aku menjatuhkan diri di atas ranjang, berbaring menatap langit-langit. Ketika berguling ke kiri, pandanganku jatuh kepada lukisan yang tergantung di dinding. Seorang gadis memakai gaun putih, tersenyum samar dengan seikat scarlet carson dalam genggamannya. Itu lukisan Arthur. Aku muak melihatnya dan ingin menyingkirkannya dari dinding itu, seandainya saja aku punya keberanian. Tapi aku tidak pernah berani menyentuh barang-barang Arthur, bahkan setelah dia tidak ada di sini.
“Arthur bodoh….” gumamku dengan suara bergetar.
“Kak! Kak! Ikut aku!”
Dalam bayanganku muncul seorang anak lelaki kecil berbaju biru, berlari ke arahku lalu semena-mena menarik tanganku yang sedang asyik bermain pasir di taman.
“Hei! Kenapa kau menarik-narik tanganku?” gerutuku padanya.
“Lihat itu, Kak!”
Arthur menunjuk pagar bercat kusam yang ada di sudut taman. Pagar itu sudah rusak, tidak sempurna lagi melindungi tempat ini. Jadi apa yang membuat Arthur begitu girang?
“Ada apa?? Kenapa dengan pagar itu?”
“Bukan pagarnya,” Arthur berjalan mendekati pagar itu, ”Tapi bunga ini, Kak.”
Dia menyentuh bunga-bunga kecil berwarna ungu yang batangnya tumbuh merambati pagar itu. Ada banyak sekali. Bunga-bunga itu berbentuk seperti terompet.
“Kenapa dengan bunga itu?” tanyaku bingung.
“Indah, bukan?”
Arthur tersenyum polos sementara aku menatapnya ganjil.
Waktu itu umurnya 6 tahun dan aku 10 tahun. Aku tidak mengerti kenapa Arthur bisa begitu girang hanya dengan melihat bunga-bunga liar. Dia kemudian berlari ke rumah, mengambil pensil dan buku gambar, lalu membiarkanku bermain pasir sendirian sementara dia sibuk duduk di sudut taman: menggambar bunga itu. Hari itu, untuk pertama kalinya aku tahu Arthur senang melukis. Dan lukisannya memang indah, bahkan bagiku yang sama sekali tidak tahu soal seni.
Aku berpaling dari lukisan gadis antah berantah itu: Mary.
Di samping kamar ini ada sebuah ruangan tempat Arthur biasa melukis, tapi sampai hari ini aku tidak berani membukanya. Aku takut melihat lebih banyak lagi gadis bermata senja itu, sedangkan sekarang aku bahkan tidak bisa melupakan wajanhya hanya dengan melihatnya dari dalam cafe setiap pagi.
“Arthur,,, Apa yang terjadi padaku? Apa yang harus kulakukan?”
Aku bergumam lagi. Mataku mulai panas. Seandainya dia di sini, aku akan memarahinya, aku akan mengatainya bodoh atau pengecut seperti biasanya, aku akan meninju lengannya atau melempari wajahnya dengan bantal seperti setiap kali dia bercerita tentang gadis asing itu.
“Kenapa kau tidak datang ke tokonya, berkenalan lalu mengajaknya minum kopi?” tanyaku suatu hari.
“Dia lebih suka minum coklat hangat sambil makan blackforest di toko roti, Kak.” Arthur tersenyum.
Aku terperangah. Dia bahkan tahu sampai hal sekecil itu. Sebenarnya dia ini menyewa detektif atau apa?
“Arthur bodoh… “ejekku, “ Dengan terpaksa kukatakan kau ini tampan, jadi kenapa kau harus takut hanya untuk mengajak seorang gadis berkenalan? Ini sudah hampir satu tahun!”
“Aku tidak takut, Kak. Aku hanya mencari waktu yang tepat.”
“Aiish… Waktu yang tepat itu tidak dicari, Arthur, tapi diciptakan. Kau ini pengecut sekali.” Aku sok tahu menasehatinya. Dia tersenyum simpul seperti biasa.
“Kau tidak akan mengerti, Kak,”katanya, ”Aku minta kau ingat satu hal. Kalau aku tidak sempat mengatakan padanya, kau yang harus memberitahunya bahwa Arthur bodoh ini sudah jatuh cinta padanya.”
Hatiku getir mengingat kalimat itu. Kau yang harus memberitahunya bahwa Arthur bodoh ini sudah jatuh cinta padanya. Bagaimana aku bisa memberitahunya, sedangkan aku ingin sekali membencinya? Bagaimana aku bisa memberitahunya, sedangkan aku mulai merasa aneh jika tidak melihat wajahnya sehari saja? Bagaimana bisa? Beritahu aku apa yang harus kulakukan, Arthur… Apa kau marah padaku sekarang? Apa kau menghukumku karena aku selalu menertawakanmu yang jatuh cinta pada gadis asing yang tidak kau kenal? Apa kau akan membenciku karena aku tidak membencinya, tapi malah diam-diam menyukai wajahnya? Aargghhh… Kepalaku pusing.
***
***
Bulan Desember membuatku lebih murung dibanding biasanya. Mendadak aku malas berbicara dengan orang lain, bahkan aku juga malas untuk sekedar tersenyum.
Jam istirahat kantor seperti ini, aku lebih memilih berjalan-jalan keluar dibanding makan bersama orang lain. Benar kata Arthur, bekerja di kantor sangat membosankan. Dulu dia mati-matian menolak bujukan orang tuanya untuk mewarisi perusahaan keluarga dan lebih memilih menjadi wartawan sambil tetap melukis atau menggambar di mana saja dia ingin melakukannya. Dan paling sering, dia menggambar di cafe depan toko bunga itu. Siapa lagi kalau bukan Mary yang menjadi objeknya.
Lamunanku buyar ketika ada mendengar suara tangisan tak jauh dari tempatku berdiri. Seorang gadis mungil berjongkok di dekat ayunan taman, menundukkan kepala dengan bahu berguncang-guncang karena tangisannya.
“Hei tuan putri, kenapa kau menangis?”
Gadis mungil itu mendongak dengan wajah terkejut, matanya sembab dan basah.
“Sudah, jangan menangis lagi….” kataku, “Kenapa kau menangis?”
“Temanku bilang… dia bilang… aku jelek…” dia menjawab dengan tersendat-sendat, ”Dia bilang… aku gendut… dan jelek…”
Aku menahan senyum. Bagaimana bisa temannya mengatai anak secantik ini jelek? Dasar anak-anak.
“Tidak… Kau cantik, sangat cantik… Lihat, kau bahkan lebih cantik dari bunga itu.”
Aku menunjuk rumpun bunga matahari di dekat kami. Dia tersenyum sedikit.
“Kau mau coklat? Kakak akan memberimu coklat kalau kau berhenti menangis.”
Dia mengangguk-angguk cepat. Matanya mulai bersinar. Aku mengajaknya berdiri dan menggenggam tangannya, ketika mendadak seseorang berseru dari kejauhan.
“Yuri! Yuri!”
“Kakak!!”
Gadis mungil itu melepaskan tanganku dan berlari menghampiri orang yang memanggil namanya.
“Kenapa kau pergi dari sekolah? Kakak dan Ibu Guru sibuk mencarimu…”
“Randy nakal, kak. Dia mengatakan aku jelek…” Gadis mungil bernama Yuri itu mengerucutkan bibirnya.
“Apa?? Siapa yang berani mengataimu jelek? Nanti kakak jewer telinganya.”
Gadis itu tertawa. Aku masih terpaku di tempatku semula. Tanganku gemetar mendengar suaranya.
“Ayo kita kembali ke sekolah. Nanti kakak bisa dimarahi kalau ibumu tahu kau membolos…”
“Tapi aku mau coklat, kak. Kakak itu mau memberiku coklat…”
Yuri menunjuk ke arahku. Gadis itu memandangku, menatap tepat ke bola mataku. Tubuhku rasanya limbung dan beku.
***
***
Mary’s POV
Mary mengarahkan tangannya pada seorang lelaki yang berdiri di dekat kami, tapi aku tidak menyadari keberadaannya sejak tadi. Mataku membulat ketika melihatnya. Dadaku berdesir lagi. Itu dia. Lelaki yang beberapa hari yang lalu menatapku dari halaman cafe. Lelaki yang akhirnya kuketahui hampir setiap pagi datang ke cafe itu. Ya, itu dia. Dan aku makin yakin aku pernah melihatnya di suatu tempat.
Yuri menarikku mendekati lelaki itu. Apa ini hanya perasaanku saja? Dia terlihat gugup dan kebingungan.
“Kakak,,, mana coklatku?” Yuri menengadahkan tangannya. Lelaki itu masih terlihat kaget, entah kenapa.
“Maaf, maaf sekali,,,, Yuri sudah tidak sopan,” kataku akhirnya.
“Eh… tidak… Aku… aku yang sudah berjanji akan memberinya coklat.”
Lelaki itu merogoh saku celananya dengan terburu-buru.
“Ini coklatmu, tuan putri. Jangan menangis lagi, ya. Kau cantik kalau tersenyum.”
Dia mengulurkan coklat itu pada Yuri yang kegirangan. Aku ingat sekarang… Aku ingat sesuatu… mata yang menatapku nanar itu…
***
***
Firly’s POV
Pagi ini kembali sama, dengan secangkir black coffee di atas meja. Yang berbeda adalah hatiku. Hari ini, 15 Desember, tepat setahun sejak kepergian Arthur, sahabat yang sudah melebihi saudara kandungku sendiri. Kami sama-sama anak tunggal dan berteman sejak kecil, sejak dia dan keluarganya datang dari Kanada dan tinggal tepat di samping rumahku. Waktu itu usianya masih 3 tahun. Arthur kecil yang sering ditinggalkan ayah dan ibunya lebih sering tinggal di rumahku dan dia manja pada orang tuaku seperti kepada orang tuanya sendiri.
Aku menyesap kopiku. Hari ini aku harus mengatakannya kepada gadis itu, bagaimanapun caranya, tidak peduli aku masih belum bisa melupakan tatapannya padaku di taman, seminggu yang lalu. Aku ingin memakinya seperti yang ingin kulakukan setahun yang lalu. Aku ingin menyalahkannya atas kepergian Arthur. Sungguh, aku ingin melampiaskan kesedihanku padanya. Bagaimana tidak? Hari itu, Arthur akhirnya memutuskan menemui Mary. Dia tidak segugup yang kubayangkan dan bahkan tidak mengatakan apa-apa padaku. Pagi itu dia datang ke rumahku dengan senyum simpulnya yang biasa.
“Aku akan pergi hari ini, Kak,” katanya, “Menemuinya.”
Aku menepuk-nepuk bahunya dengan wajah salut sambil menahan tawa.
“Semoga berhasil,” hanya itu yang kukatakan.
“Hei! Kak! Aku tidak akan mengajaknya menikah sekarang juga, aku hanya ingin membeli bunga untuk orang yang istimewa.”
Aku tertawa, tidak begitu memperhatikan jawabannya.
“Ingat lagi, Kak. Kalau aku tidak sempat mengatakannya, kau yang harus memberitahu dia bahwa aku mencintainya.”
Aku masih ingat bagaimana wajahnya yang damai ketika aku sampai di rumah sakit. Aku masih merasakan tubuh bekunya, tangannya yang dingin saat kugenggam. Teman yang sangat kusayangi, yang sangat berharga seperti saudara kembarku sendiri, akhirnya pergi secepat itu karena kecelakaan. Mobilnya terhantam truk yang melanggar lampu merah, tepat di perempatan dekat cafe ini, dekat toko bunga itu. Aku gemetar lagi mengingat wajahnya, mengingat jok mobil yang berlumuran darah dan seikat calla lily putih yang warnanya berubah kemerahan. Itu semua karena gadis antah berantah itu. Karena Arthur jatuh cinta padanya. Karena Arthur menemuinya.
Aku bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar. Aku harus menemui gadis itu sekarang juga.
“Aaah!!!”
Karena terlalu terburu-buru, tanpa sengaja aku menabrak seseorang. Aku mengibaskan tanganku yang terkena tumpahan kopi panas yang dibawa orang itu.
“Maaf… Maafkan saya….” terdengar suaranya meminta maaf.
Suara ini…
“Kak Firly…” Matanya membulat kaget. Aku menatapnya tidak percaya.
“Bagaimana… kau bisa tahu namaku?”
Dia diam sejenak menguasai keterkejutannya.
“Ayo ikut aku. Lukamu harus diobati.”
Seperti hilang kesadaran, aku menuruti langkahnya ketika dia menarik tanganku menyebrangi jalan, masuk ke tokonya dan duduk di kursi halaman belakang toko itu. Aku memandang sekitar dengan linglung. Pandanganku tertuju pada pagar bercat putih yang mengelilingi halaman. Bukan pagar itu, tapi bunga terompet kecil berwarna ungu yang pohonnya merambat di sana. Bunga yang digambar Arthur… Aku masih menatap bunga itu sampai dia mengolesi tanganku dengan obat luka bakar.
“Itu bunga morning glory. Mereka mekar setiap pagi,” katanya tanpa menatapku, “Indah, bukan? Dulu adikmu juga mengatakannya.”
Dia mendongak dan menatapku.
“Kita bertemu setahun yang lalu di rumah sakit, bukan?”
Aku masih diam. Di rumah sakit? Apakah…
“Ah, tidak. Aku melihatmu di rumah sakit, Kak, barangkali kau yang tidak melihatku. Aku mendengar ibu yang datang kemudian memanggilmu “Firly.” Aku… aku turut berduka cita untuk adikmu.”
Dia menunduk, menggigit bibirnya. Jadi gadis ini ikut mengantarkan Arthur ke rumah sakit? Sementara kami diam, aku memandangnya, dari jarak sedekat ini. Matanya memang senja… Wajahnya teduh dan seperti tempat pulang… Aku kehilangan semua makian dan kalimat kejam untuk menyalahkannya. Lagipula apa salahnya sebenarnya?
“Pagi itu dia baru saja datang ke sini, membeli seikat calla lily. Dia bilang, dia akan memberikan itu sebagai hadiah ulang tahun untuk orang yang sangat berharga baginya. Aku bahkan tidak tahu namanya sampai sekarang…”
Ulang tahun? Dia bilang dia membeli hadiah ulang tahun? Hari ini, 15 Desember? Tubuhku kaku, mataku mengabur. Jadi dia membeli bunga itu untuk hadiah ulang tahunku? Dan dia bahkan tidak menyebutkan namanya pada gadis ini?
“Namanya Arthur… Namanya…. Arthur…”
Kepalaku tertunduk dengan bibir dan suara bergetar.
“Namanya Arthur,” kataku, “Dan dia sangat mencintaimu,,,, Mary…”
Sekarang gadis itu yang menatapku tidak percaya. Bibir mungilnya setengah terbuka, wajahnya terkejut dan bingung.
“Kau harus ikut aku sekarang.”
Aku menarik tangannya tanpa persetujuan.
***
***
Mary’s POV
Aku masih terkejut dan tidak tahu harus berbuat apa ketika laki-laki bernama Firly ini menyeretku, membawaku naik ke mobilnya, duduk di sampingnya di dalam mobil, lalu diseret lagi masuk ke sebuah rumah megah, menaiki tangga dan masuk ke sebuah ruangan.
“Lihat ini… Dia sangat mencintaimu, bahkan meski kau tidak pernah tahu namanya.”
Aku terperangah. Mendadak mataku panas. Benarkah ini semua aku? Kupandangi semua lukisan di ruangan luas ini, yang tergantung di dinding, yang tergeletak di lantai, sketsa-sketsa di lembaran kertas yang belum selesai. Aku tidak tahu ini benar atau tidak.
“Ya, itu kau, Mary,” kata Firly, seolah mengerti kebingunganku.
Aku menyentuh satu lukisan. Di sana “aku” memakai gaun kuning, memegang payung biru di depan toko bunga. Ya, itu aku. Itu payungku. Di lukisan lain, aku sedang duduk di dalam toko roti dengan segelas coklat hangat. Aku sedang menggunting tangkai bunga krisan. Aku sedang mengelap kaca. Aku sedang bersama Yuri. Aku sedang duduk di bangku taman. Aku.. semuanya aku…
Entah kenapa mataku mengabur. Kututup mukaku dengan kedua tanganku. Bagaimana bisa ada orang seperti ini? Padahal dia tidak mengenalku? Bahkan aku belum sempat mengucapkan terimakasih padanya… Bahkan aku hanya sekali bicara padanya, kemudian harus melihatnya lagi ketika berlumuran darah dan kehilangan kehidupannya…
“Dia melakukan ini selama satu tahun. Dia tidak pernah berhenti membicarakan dan melukismu, sampai pagi itu… “
Aku menatap lelaki bernama Firly itu. Matanya basah. Dia menangis tanpa suara.
“Maaf, Mary… Maafkan aku.. Selama ini aku ingin sekali membencimu, menyalahkanmu atas kepergian Arthur. Aku bahkan tidak tahu bunga itu dia beli untukku… Aku tidak tahu….”
Dia menunduk. Tidak, jangan menangis… Aku tidak tahu kenapa ingin meraih tangannya yang gemetar. Dia mengangkat wajahnya, menatapku.
“Tidak apa-apa, Kak Firly,,, tidak apa-apa,,,”
***
***
Firly’s POV
“Tidak apa-apa, Kak Firly,,, tidak apa-apa,,,” katanya sambil meraih tanganku yang gemetar.
Aku memandangi wajahnya, wajah yang dicintai Arthur, wajah yang barangkali juga kucintai…
“Mary, Arthur selalu berkata, jika dia tidak sempat mengatakannya padamu, aku harus memberitahumu bahwa dia jatuh cinta padamu. Bahwa dia sangat mencintaimu.”
Mary melepaskan genggamannya. Dia menangis lagi sambil menunduk. Bahunya berguncang.
Maafkan aku Arthur.. Maaf… Tolong jangan hukum aku, aku hanya ingin menjaganya, aku ingin melakukan apa yang tidak sempat kau lakukan bersamanya…
Aku merengkuh tubuh kurus itu ke dalam pelukanku.
“Jangan menangis Aku tidak ingin melihatmu menangis…” bisikku ke telinganya.
Dia tidak menjawab. Dan aku tidak perlu jawaban. Kebencian yang selama ini kukambinghitamkan berguguran di hatiku, seperti kelopak-kelopak scarlet carson yang berjatuhan dalam lukisan Arthur.
***
Shared by @Card_To_S4

1 comment: